Sabtu, 20 Juni 2009

Malaysia Remehkan Indonesia

image

KASUS model asal Indonesia Manohara Odelia Pinot dan Raja Kelantan Tengku Muhammad Fakhry serta konflik Ambalat memanaskan lagi hubungan diplomatik dan budaya antara Malaysia dan Indonesia. Sejak sama-sama berdiri tahun 40-an, hubungan bilateral selalu pasang surut. Ada kalanya panas, ada kalanya mesra. Untuk mengetahui kenapa pasang-surut itu terjadi, berikut wawancara dengan Prof Dr Abdul Hadi MW, pengajar Universitas Paramadina yang tahun 1991-1997 menjadi penulis tamu dan pengajar di Universiti Sains Malaysia.

Hubungan Malaysia-Indonesia memanas lagi sampai-sampai Wapres Jusuf Kalla menyatakan kita siap berperang. Menurut pandangan Anda, apa sebab relasi Indonesia-Malaysia begitu rapuh?
Ya jelas masalah politik dan ekonomi. Harap diingat, kolonialisme yang memisahkan negara-negara di Asia Tenggara. Pada masa kolonial itu, komposisi kependudukan Malaysia adalah China, Melayu, dan India. Usaha kolonial untuk memisahkan ras-ras itu tampaknya berhasil.
Tentu ada kelompok rasial yang tidak senang Malaysia dekat dengan Indonesia karena secara kultural, etnik dan agama memang satu rumpun. Mereka bermain dalam percaturan politik dalam negeri di Malaysia yang kemudian berdampak pada hubungan dengan Indonesia. Biasa, mental kolonial itu menganggap bahwa hal-hal yang berkaitan dengan budaya tradisional Asia lebih rendah.
Dulu percaturan politik dan ekonomi Indonesia lebih diperhitungkan di kawasan Asia, tapi belakangan Malaysia menggungguli. Apa superioritas ekonomi Malaysia sekarang yang membuat mereka cenderung memandang rendah Indonesia?
Dilihat dari segi ekonomi, mereka memang merasa lebih unggul dan berhasil. Tentu mereka akan memperlakukan negara-negara di sekitarnya, termasuk Indonesia yang belum berhasil membangun ekonominya itu sebagai bagian dari ekspansi ekonomi mereka.
Penggerak ekonomi di sana tidak hanya dari rumpun Melayu. Jangan lupa, pengusaha di sana banyak yang terdidik secara Barat. Dan tidak bisa disalahkan ada segi rasialnya juga. Apalagi Singapura. Ini harus diakui oleh mereka sendiri.
Adakah pemimpin yang tampil di negara itu turut berperan memperkeruh hubungan kedua negara?
Pemimpin-pemimpin Malaysia, dari Mahathir hingga sekarang itu kan orang-orang Melayu didikan Barat yang dekat dengan pemikiran kolonial yang menganggap Batat atau Inggris itu contoh segala-galanya. Dari segi kultur, orang-orang Melayu merasa memimpin dunia Melayu. Kemelayuan itu kan ada dua, di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia tidak terbangun karena kesalahan pemerintahan. Kaum intelektual Indonesia, kalau berbicara tentang Melayu, rujukannya selalu Malaysia. Kita lupa bahwa di Indonesia juga ada Melayu.
Kalau orang berbicara Islam, kan selalu berpikir, oo.. Islam yang di Jawa. Kita lupa bahwa Islam yang di Melayu ini yang menjadi perekat dengan Melayu di Indonesia.
Belakangan ini banyak karya budaya Indonesia yang diklaim oleh Malaysia. Dari batik, reog, sampai saman dari Aceh mereka promosikan sebagai budaya Melayu.
Itu setengahnya tidak salah. Banyak orang Malaysia yang keturunan Jawa dan Aceh. Sejak lama mereka punya batik Melayu, batik Kelantan. Tapi orang Indonesia tidak mau menegaskan ada batik Jawa, ada batik Pekalongan, ada batik Madura. Lalu dalam kajian-kajian tentang seni, batik itu pengaruh China pada budaya Jawa. Pengaruh Islam-nya mana, pengaruh Persi-nya di mana, tidak ditegaskan.
Kita di Indonesia dididik hindusentris. Ada islamophobia di dalam penelitian ilmiah di Indonesia. Nah, Islam-nya itu yang diklaim oleh Malaysia. Dalam sastra Melayu kan pengaruh Islam sangat kuat. Di Indonesia itu tidak dipelajari, tapi di sana, karena merasa orang Melayu, mereka mempelajari dan mengembangkannya.
Kerajaan Melayu kan terdiri atas Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh Darussalam. Dari tiga kerajaan itu, satu ada di Malaysia (Malaka), dan satu di Indonesia. Sejarawan kita menganggap perkembangan kebudayaan Melayu selalu dimulai dari Malaka. Makanan empuk bagi mereka. Lupa bahwa Samudera Pasai lebih dulu dari Malaka. Dan Aceh itu selalu dianggap Aceh saja, padahal Aceh Darussalam itu sumber peradaban Melayu. Persepsi sejarah ini mereka manfaatkan bahwa pusat kebudayaan Melayu itu Malaka. Jadi Indonesia itu hanya periferal Kerajaan Malaka.
Itu sudah ada sejak zaman Inggris dan Belanda, dan masuk ke dalam pemikiran kaum intelektual dan negarawan Indonesia. Pelopor sastra Melayu modern itu selalu dikatakan Abdullah bin Abdulkadir Munzi di Malaysia. Padahal di sini ada Raja Ali Haji. Ada Hamzah Fansuri di Aceh yang lebih dulu. Tapi kita tidak mau mengangkat.
Kecenderungan orang Malaysia memandang rendah Indonesia sepertinya mulai menguat saat kita mengirimkan TKI ke sana. Anda juga melihatnya demikian?
Jelas. Keunggulan ekonomi itu memang sesuatu yang penting. Sejak awal 70-an, pemerintah kita belum berhasil membangun ekonomi dengan baik. Akibatnya, Malaysia selalu menganggap rendah Indonesia.
Mereka itu kan orang-orang yang memiliki kompleks inferioritas terhadap orang Indonesia dalam pencapaian intelektual. Dan setelah maju secara ekonomi, mereka ingin membalas, merasa lebih unggul, dan menganggap orang Indonesia yang bekerja di sana lebih rendah.
Pada tahun 70-an, orang Indonesia dibawa ke Malaysia untuk mengatasi ketimpangan populasi Melayu dengan etnis China. Tapi hubungan dengan perusahaan-perusahaan, baik milik ras Melayu maupun China yang semula mesra kemudian berbalik menjadi hubungan perbudakan.
Ada hal menarik. Di satu sisi, mereka merasa lebih unggul, tapi di sisi lain tidak. Bahkan musik dan sinetron Indonesia, begitu meraja di Malaysia. Mereka berkiblat ke kita.
Ya. Tapi itu bisa menyebabkan kecemburuan para seniman di sana. Dan lagi, yang secara umum kita ketahui kan hanya di bidang musik dan film. Sebetulnya, bukan hanya di bidang itu. Di bidang sastra, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, mereka juga berorientasi ke sini.
Sayangnya, kita memperlakukan pemikiran kita setengah hati. Pemikiran pada pemikir Islam di Indonesia seperti Hamka atau M Natsir dipelajari di perguruan tinggi di Malaysia. Buku-buku Pramoedya, Ahdiat Kartamiharja, Hamka, dijadikan teks wajib di sana.
Mereka ingin lebih setara dengan seniman-seniman Indonesia. Tapi tidak berhasil juga. Secara tradisi, Indonesia memang jauh lebih unggul. Tapi usaha mereka untuk memperkenalkan karya tentang kemelayuan ke dunia internasional, sangat tinggi, dibiayai pemerintah. Kesusastraan Malaysia itu diperkenalkan ke mana-mana. Tapi lihat, bagaimana pemerintah memperlakukan sastrawan kita. Temasuk kajian kita tentang budaya Melayu.
Apa yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan kembali hubungan antara kedua negara yang lebih harmonis?
Upaya yang terbaik, pemerintah mesti bertindak tegas dan cepat terhadap, pertama, kalau berhubungan dengan pelanggaran wilayah, seperti kasus Ambalat dan Sipadan-Ligitan. Cepat panggil Dubes Malaysia di sini.
Yang kedua, pemerintah harus menangani setiap kasus perlakuan terhadap TKI di sana. Saya lihat Dubes RI di Malaysia itu tidak pernah membantu sejak dulu sampai kasus Manohara sekarang. Lepas tangan saja, sepertinya kita itu tunduk.
Yang ketiga, dalam hukum internasional, kita harus aktif mendata pulau-pulau yang kita miliki dan memberikan batas wilayah. Jangan lupa, mereka membangun angkatan laut dan angkatan udara yang kuat. Sementara angkatan bersenjata kita semakin lemah. Kita terlalu mengandalkan pertahanan rakyat. Zaman Soeharto masih efektif, karena rakyat masih punya patriotisme. Tapi sekarang, saat tingkat kemiskinan demikian tinggi, tidak ada pertahanan rakyat.
Di tingkat Asia Tenggara, Indonesia harus punya pusat kebudayaan di Malaysia, Filipina, dan sebagainya. Martabat kita ada di situ. China, misalnya, punya tokoh-tokoh besar di bidang intelektual, kesenian, segala macam. Indonesia, bangsa yang begini besar ini, punya filsuf tidak, punya sastrawan tidak, punya ilmuwan tidak, punya nabi juga tidak. Indonesia menjadi bangsa yang rapuh karena pencitraan semacam itu tidak dibangun. Padahal, kita punya tokoh-tokoh besar yang dikagumi di Malaysia dan Asia Tenggara.
Sekarang di Facebook muncul slogan ”Malaysia Trully Indonesia”. Apa komentar Anda?
Ya bagaimana.. Di Malaysia itu, museumnya tidak terlalu bagus. Isinya banyak benda dari Indonesia. Tapi itu diaku sebagai museum terbesar di Asia Tenggara. Padahal, benda-benda Islam-nya dari Sumatera, Jawa. Ya seperti Museum Malaka yang memamerkan peninggalan sejarah Hang Tuah, Hang Lekir, Hang Jebat, dan sebagainya.
Tapi mereka memiliki kelebihan di bidang ekonomi dan politik, mereka angkat di situ. Sedangkan kakak tua ini (Indonesia), miskin secara ekonomi, jadi seperti raksasa yang lumpuh.
Barangkali harus menunggu ekonomi kita lebih kuat?
Ya, tapi ekonomi dan kebudayaan itu kan dua sisi dari mata uang yang sama. Kadangkala ekonomi yang makmur memengaruhi perkembangan kebudayaan, kalau ada kesadaran tentang kebudayaan. Kalau tidak, ya akan begini saja, terus-nenerus berpikir kebendaan. Tapi ada kalanya kebudayaan yang membangkitkan ekonomi.
Selain ekonomi yang lebih mapan, promosi budaya dan wisata Malaysia di luar negeri gencar sekali. Bukankah itu membuat klaim mereka terhadap produk-produk kebudayaan Melayu makin menyudutkan Indonesia?
Ini juga menyangkut infrastruktur pengetahuan kita. Dalam dunia pariwisata, misalnya, Indonesia selama ini berorientasi ke zaman Hindu. Yang bisa dijual ya cuma Bali, Prambanan, Borobudur. Lupa bahwa setelah zaman Hindu ada zaman Islam. Ada juga zaman Kristen berkembang seperti di Ambon, Batak, Manado. (38)

Profil:

ABDUL Hadi Wiji Muthari

lahir di Madura 24 Juni 1946.

Dia memperoleh pendidikan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan serta Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada. Gelar PhD dia peroleh dari Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia. Selain mempelajari kesusastraan Melayu/Indonesia dan falsafah Barat, dia juga mempelajari kebudayaan dan kesusastraan Timur. Sebagai penyair, dia telah menhadiri berbagai pertemuan sastrawan internasional. Puisi dan esai-esainya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Bukunya antara lain Riwayat, Laut Belum Pasang, Potret Panjang Pengunjung Pantai Sanur, Cermin, Meditasi, Tergantung Pada Angin, Anak Laut Anak Angin, Pembawa Matahari dan Madura, dan Luang Prabhang.

(/)

Awas, Jangan Keliru Melihat Bakat Anak!


Ilustrasi: Karena sangat dikagumi dan terlalu sering dipuji, beberapa anak ada yang justru cepat mengalami tekanan atau depresi. Pasalnya, kondisi itu membuat si anak menjadi sulit untuk bisa mengalami kemajuan jika tiap segala yang dilakukannya tidak mendapatkan pujian.
Jumat, 19 Juni 2009 | 19:27 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa pakar pendidikan mengatakan, dua sampai sepuluh persen anak-anak berbakat saat ini cenderung mengalami kesulitan belajar sehingga memerlukan perhatian dan penanganan khusus.

Satu dari beberapa pakar itu adalah Prof.Dr. Conny Semiawan, yang mengatakan hal tersebut dalam peluncuran bukunya bertajuk 'Kreativitas Keberbakatan'. Buku tersebut dibedah bersama-sama pakar lainnya seperti pakar pilsafat Prof.Dr. Toeti Herati Roosseno, pakar pendidikan Prof Dr HAR Tilaar, serta sosiolog Imam B Prasodjo, di Jakarta, Jumat (19/6).

Menurut Conny, kelompok anak-anak berbakat tersebut terdiri dari tiga sub kelompok. Kelompok pertama adalah anak berbakat yang mengalami kesulitan belajar di bidang tertentu. Mereka tidak dikenal sebagai anak berbakat lantaran tertutup oleh rendahnya motivasi belajarnya sendiri.

Kelompok kedua adalah anak berbakat yang tidak pernah diketahui sebagai anak berbakat. Hal itu terjadi karena kemampuan dan ketidakmampuannya saling menutupi. Alhasil, potensi sesungguhnya dari si anak tidak pernah terwujud. Si anak akhirnya dianggap hanya sebagai anak berprestasi biasa.

Sementara itu, kelompok ketiga merupakan kelompok anak berbakat yang kemampuannya tidak teridentifikasi. Akibatnya, si anak tidak mengerti kinerja intelektualnya. Si anak pun merasa tidak pernah terpenuhi kebutuhannya sebagai anak berbakat.

Biasanya, anak berbakat yang tanpa punya prestasi sesuai potensinya kerap berperilaku rendah diri, mereka seringkali bersikap negatif terhadap sekolah atau gurunya, bersikap selalu defensif, suka menyalahkan orang lain, kedewasaan yang tidak matang, serta punya kebiasaan belajar kurang baik," ujarnya.

Sampai akhirnya, lanjut Conny, kondisi si anak akan mencapai tahap under achievement atau menyimpang dari standar prestasi. Hal tersebut tak lain suatu kondisi yang menunjukkan adanya keadaan terpisah antara kognisi dan emosi yang menunjukkan sebuah gangguan sinergi antara rasio dan emosi. Conny menandaskan, kondisi tersebut harus segera ditangani.

"Sehingga sangat diperlukan komunikasi antara orangtua dan sekolah atau gurunya, sehingga memungkinkan munculnya harapan untuk memperbaiki penyimpangan tersebut, si anak berbakat pun bisa menjadi anak yang sukses di sekolah sesuai potensinya di kemudian hari," tambahnya.

Hanya, di sisi lain, beberapa anak berbakat ada pula yang, karena sangat dikagumi dan terlalu sering dipuji, justru cepat mengalami tekanan atau depresi. Pasalnya, kondisi tersebut membuat si anak menjadi sulit untuk bisa mengalami kemajuan jika tiap segala yang dilakukannya tidak mendapatkan pujian.

Jan Pieterszoon Coen. Kalah oleh Kolera

MURJANGKUNG, begitu ia dijuluki. Entah dari mana nama itu muncul. Bisa karena postur tubuhnya yang jangkung, bisa juga karena namanya yang kental nuansa Belanda dan sulit bagi lidah orang pribumi. Mur Jangkung tak lain adalah Jan Pieterszoon Coen. Peletak dasar kota Batavia yang dimulai dari muara Sungai Ciliwung. JP Coen lahir di Hoorn, Belanda, 8 Januari 1587. Hoorn, salah satu kota di provinsi Noord Holland tak jauh dari Amsterdam. Di kota ini, patung JP Coen masih berdiri tegak. Tepatnya di lapangan De Roode Steen.

Dalam website www.vocsite.nl disebutkan Coen magang di sebuah perusahaan di Roma yaitu di kantor Justus Pescatore (Joost de Visser) pada tahun 1601. Di tahun 1607 ia dikirim berlayar ke Hindia Belanda sebagai asisten saudagar yang bekerja pada kompeni di bawah Pieter Willemsz Verhoeff. Dua tahun kemudian rombongan tiba di Pulau Banda. Di sinilah kompeni mulai membangun benteng namun kemudian pembunuhan terjadi pada awak kapal.

Ia berhasil meyakinkan Heren Zeventien, tentang visinya bahwa VOC bisa menguasai perdagangan di Hindia Belanda. Coen balik ke Belanda, untuk kemudian kembali lagi ke Hindia Belanda pada 1612 di saat pangkatnya opperkoopman, saudagar tinggi. Direktur perdagangan di Banten pun langsung disabet. Coen berpegang bahwa Belanda punya hak untuk mengembangkan perniagaan yang sudah dimulai di Hindia Belanda – pasalnya Belanda lebih dulu berdagang di tempat-tempat orang Spanyol dan Portugis berdagang padahal dua negara itu tak punya hak karena sudah dikalahkan Belanda.

Mimpi Coen menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan di Asia, dari Iran hingga ke Jepang. Manila, Makau, Filipina, berusaha direbut. Visinya membuat para pemimpin VOC di Belanda (Heren Zeventien) pun tergiur. Jadi tak aneh jika Coen menjabat gubernur jenderal hingga dua kali sejak 1619. Junus Nur Arif dalam tulisan “Mur Jangkung Pendiri Batavia” menulis, benteng yang dibangun Coen di muara Sungai Ciliwung semula akan diberi nama Nieuw Hoorn, sesuai dengan kota asal Coen. Di zaman itu Belanda sedang tergila-gila untuk menamakan daerah jajahan sesuai dengan kota-kota di Belanda. Contohnya New Amsterdam (kini New York).

Belum sempat Coen menamai benteng tadi, armada Inggris yang dipimpin Thomas Dale tiba pada 1618 sehingga Coen sibuk mencari bala bantuan hingga ke Banda. Pada saat Belanda terpojok, Pangeran Jayakarta diduga bersekutu dengan Inggris sehingga Sultan Banten itu berhasil menindak Jayakarta. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Coen yang akhirnya bisa merebut Jacatra pada 30 Mei 1619. Nama Batavia sebetulnya bukan keinginan Coen, itu adalah kemauan dewan pimpinan VOC.

Coen, yang kemudian menikahi Eva Ment, lebih suka bekerjasama dengan warga Tionghoa dengan alasan, mereka tak suka berperang dan rajin bekerja. Upaya menarik warga Belanda untuk tinggal di Batavia dan Indonesia pada umumnya tak berhasil maka ia harus memilih orang untuk membangun Batavia. Orang Tionghoa menjadi salah satu pilihan selain imigran Madagaskar dan Birma.

Rencana besar Coen tak kunjung menunjukkan hasil, malah di akhir masa jabatannya yang pertama (1619-1623), VOC sudah merugi sebesar 8.000 gulden. Segala cara, bahkan menggunakan kekerasan pun diterjang oleh Coen demi cita-citanya. Kisah visi besar Coen pun akhirnya berakhir bersama dengan wafatnya sang gubernur jenderal ke empat dan enam ini. Ia wafat saat masih menjabat sebagai gubernur jenderal keenam, menggeser Pieter de Carpentier, 1627-1629.

Ironisnya, ia tak wafat di medan perang tapi kalah oleh kolera. Junus menyebutkan, pada tahun 1629 Mataram kembali menyerang Batavia. Perempuan yang tinggal di benteng diminta menyingkir, namun Ment tak hendak beranjak karena suaminya dalam keadaan kurang sehat. Pada 20 September 1629, malam hari, usai makam malam, Coen sakit perut hingga duduk pun ia tak mampu. Dokter pun menyatakan, tak ada lagi yang bisa menyelamatkan Coen. Eva Ment pun membawa bayi yang baru berusia tiga hari, berpamitan pada sang suami dan ayah. Coen meninggal tengah malam di usia 42 tahun karena kolera. Ia dimakamkan di halaman gereja (kini Museum Wayang). Eva Ment kemudian kembali ke Belanda bersama Johanna, sang putri, yang tak lama kemudian juga meninggal.

Kondisi Batavia (lama) yang makin buruk, kotor, di mana penyakit bertebaran, akhirnya tak hanya mencabut jiwa warga tapi juga sang pemimpin. Sekeji apapun JP Coen, ialah peletak dasar terbentuknya kota Jakarta.

Wali Murid Protes Ketidaklulusan Siswa

GROBOGAN- Merasa dirugikan anaknya tidak lulus sekolah, wali murid Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Purwodadi, protes dengan mendatangi sekolah, Kamis pagi.
Drs Zaenal Arifin, orang tua siswa Farauq Burhany, menemui Kepala Sekolah (Kasek) Drs Mashudi M Ag untuk menanyakan penyebab ketidaklulusan dan iktikad baik pihak sekolah.

’’Penyebabnya apa? Kalau dilihat dari hasil ujian nasional anak saya nilainya bagus. Dari enam mata pelajaran yang diikuti, jumlahnya mencapai 46,75,’’ kata dia, kemarin.

Zaenal menyinggung kenakalan anaknya di lingkungan sekolah. Namun, dia meminta hal itu tidak diikutkan sebagai unsur penilaian ketidaklulusan.
Dia mempertanyakan unsur dendam pihak sekolah, hingga akhirnya Farauq tidak diluluskan. Pertanyaan itu karena melihat hasil UN lumayan bagus, namun tetap tidak lulus.

Nilai UN Bahasa Inggris 8,80, Bahasa dan Sastra Indonesia 6,20, Matematika 8,25, Fisika 8,50, Kimia 7,75 dan Biologi 7,25. Nilai yang tinggi ini menjadikan Farauq Burhany bisa diterima tanpa tes di Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Perdebatan Sempat terjadi perdebatan ketika hal ini disampaikan kepada pihak sekolah. Selain Kasek Mashudi, hadir guru PPKn Drs Syamsudin MAg yang mencoba menjembatani protes wali murid tersebut.

Perdebatan melebar tidak hanya berkisar pada dugaan dendam yang dialamatkan pada pihak sekolah, melainkan juga ketika wali murid meminta transparansi nilai mata pelajaran ujian sekolah.

Nilai UN Farauq memang lumayan tinggi, namun tidak demikian untuk ujian akhir sekolah (UAS) beberapa mata pelajaran jeblok.

Zaenal berkeinginan pihak sekolah transparan mengenai ujian sekolah dan minta ditunjukkan lembar jawaban mata pelajaran yang telah diujikan. Pihak sekolah berkeberatan, karena sudah dianggap masuk terlalu jauh mencampuri urusan sekolah.

Pihak sekolah mengakui hasil UN Farauq lumayan baik, tetapi untuk nilai UAS di bawah kriteria ketentuan minimal (KKM) yang telah ditetapkan Depag.
Dari 11 mata pelajaran UAS, delapan pelajaran nilai Farauq di bawah KKM. Antara lain mata pelajaran Akidah Akhlak hanya 6,60 yang seharusnya minimal 7,70, Sejarah Kebudayaan Islam 6,40 seharusnya minimal 6,50.

PPKn 5,4 seharusnya 7,00, Bahasa Arab 5,40 seharusnya 6,50, Sejarah 5,20 seharusnya minimal 6,50, Penjas 4,60 seharusnya minimal 6,50, TIK hanya 5,00 seharusnya minimal 6,50, dan Bahasa Jawa hanya 6,20 yang seharusnya minimal 6,50.

Pemberian nilai untuk siswa itu tanpa ada rekayasa, apalagi dendam. ’’Selebihnya yang perlu disampaikan adalah misi pendidikan sekolah kami menciptakan anak didik berakhlakul karimah. Sehingga sangat tidak mungkin memberikan nilai berdasarkan perasaan suka atau tidak suka,’’ tandas Mashudi. (H41-37)

Jumat, 12 Juni 2009

Bumi Semakin Rusak, Akibat Ulah Manusia


Ilustrasi Bumi
Jumat, 5 Juni 2009 | 11:08 WIB

DENPASAR, KOMPAS.com - Sedikitnya telah terjadi sepuluh jenis kerusakan di muka bumi akibat ulah manusia, sehingga menimbulkan berbagai konflik dan permasalahan.

Salah satu kerusakan bumi tersebut, naiknya suhu bumi yang sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim, kata Drs I Ketut Wiana, dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Jumat (5/6).

Ia mengatakan hal itu ketika tampil sebagai pembicara pada konferensi internasional yang membahas tentang agama dan budaya, termasuk keterkaitan air pada South and Southeast Asia Association for Study of culture and religion (SSEASR) ke-3, yang melibatkan 506 peserta dari 61 negara.

"Naiknya suhu bumi sangat memengaruhi iklim global yang kondisinya semakin tidak menentu. Musim hujan melebihi batas waktu dan musim kering dirasakan jauh lebih kering dari biasa," kata Wiana yang juga pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), majelis tertinggi umat Hindu.

Dampak tidak menentunya iklim kini sangat serius bagi kehidupan umat manusia maupun kehidupan bidang pertanian, yang menjadi sumber kehidupan umat manusia.

Prof Emil Salim berpendapat, sepuluh kerusakan bumi akibat bergesernya gaya hidup manusia dari needs ke wants, yakni dari hidup berdasarkan kebutuhan menjadi hidup berdasarkan keinginan.

Kondisi itu menyebabkan ada pihak yang hidup berlebihan, namun tidak sedikit pula yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Untuk itu perlu kesadaran dan peran semua pihak untuk mengatasi kerusakan lingkungan khususnya perubahan iklim dengan menghijaukan dan menghutankan lahan kritis di muka bumi.

"Upaya yang memerlukan gerakan berkesinambungan dan waktunya cukup lama tersebut, sekaligus untuk menyediakan air buat kebutuhan bagi umat manusia dan makluk hidup lain," tutur Ketut Wiana.

Bumi Bakal Gagal Diselamatkan?


Ilustrasi Bumi

Jumat, 12 Juni 2009 | 09:38 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (Civil Society Forum for Climate Justice/CSF) mendesak negara-negara Annex 1 memenuhi komitmennya memotong emisi sebagaimana telah disepakati dalam Protokol Kyoto.

Perundingan Bonn Climate Change Talks yang sedang berlangsung (1-12 Juni 2009) seharusnya memastikan pemenuhan komitmennya dalam Protokol Kyoto, bukan menyodorkan proposal baru untuk mengamandemen Protokol Kyoto, kata CSF.

Pertemuan Juni merupakan saat yang tepat untuk mengubah arah perjalanan pembicaraan perubahan iklim. "Indonesia sebagai negara yang terkena dampak perubahan iklim harus memainkan peran dalam menentukan arah negosiasi, yaitu tetap fokus pada penurunan emisi secara nyata yang merupakan tujuan awal UNFCCC,” kata Koordinator CSF, Giorgio Budi Indarto.

COP 15 nanti benar-benar merupakan kesempatan terakhir dunia untuk mewujudkan keadilan iklim sehingga CSF meminta agar para delegasi yang hadir dalam Bonn Climate Change Talks II benar-banar mengambil tindakan yang dapat menyelamatkan dunia.

Masyarakat sipil juga meminta agar semua pembicaraan negosiasi Juni, baik mitigasi maupun adaptasi mengadopsi konsep HELP dalam solusi perubahan iklim yang ditawarkannya.

Masyarakat sipil Indonesia tidak akan menoleransi jika skema-skema penanganan perubahan iklim yang ditawarkan berpotensi merugikan masyarakat. Itu sebabnya, setiap tindakan konkret untuk mengatasi dampak perubahan iklim harus diambil tetapi tetap menjamin hak masyarakat.

Hal lain yang menjadi keprihatinan masyarakat sipil adalah mekanisme pendanaan yang seharusnya tidak boleh lagi bergantung pada model utang, proses manipulasi pengurangan emisi negara maju melalui mekanisme offset yang tidak akan dapat menstabilisasi volume GRK secara global.

Bagi Indonesia, upaya adaptasi dan mitigasi yang dilakukan tidak boleh lagi menimbulkan masalah baru, seperti konversi lahan tanaman pangan ke lahan tanaman bahan baku biofuel yang akan mengurangi kapasitas produksi pangan, atau pun mengubah ekosistem rawa gambut dan laut sebagai penyeimbang iklim mikro dan makro yang sangat erat dengan kepentingan ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya setempat.

Pengelolaan utang ekologis sebaiknya dilakukan melalui mekanisme transitional justice. Kejahatan-kejahatan lingkungan harus diproses terlebih dahulu untuk menegakkan keadilan kepada para korban, dan untuk pemulihan ekosistem yang telah dirusak dalam praktek-praktek eksploitasi kekayaan alam oleh para korporasi multi nasional.

Forum masyarakat sipil Indonesia untuk keadilan iklim menegaskan, negara maju wajib mengontrol dan mengevaluasi investasi-investasinya di sektor kehutanan-perkebunan, di mana kedua sektor ini memasok kebutuhan primer mereka, yang berdampak kepada pembukaan kawasan hutan dan rawa gambut di Indonesia untuk industri perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.

Mereka juga harus memastikan agar proyek-proyek uji coba dan modeling reducing emission from deforestation and degradation (REDD) yang didanai tidak melanggar hak-hak masyarakat terhadap kawasan adat, hutan, dan lingkungan hidup di Indonesia.

Tanpa memperhatikan berbagai hal tersebut, penanganan perubahan iklim tidak akan tercapai, dan perundingan UNFCCC hanya menjadi ajang bisnis karbon yang gagal menyelamatkan bumi ini, demikian CSF.

Selasa, 02 Juni 2009

Sejarah Gereja Kebon Dalem Semarang

Paroki yang sekarang dikenal sebagai Paroki Kebon Dalem pada awalnya merupakan bagian dari wilayah Paroki Gedangan. Sebagian besar umat adalah suku Tionghoa, dan tinggal di daerah pecinan. Sebagian kecil suku Jawa atau yang lain. Gereja Kebon Dalem sendiri terletak di daerah pecinan, di jalan Gg. Pinggir. Romo Beekman SJ mengawali sejarah berdirinya Gereja Santo Fransiskus Xaverius Kebon Dalem. Dalam catatan Sejarah Gereja Kebon Dalem yang ditulis dalam buku 50 tahun "St. Fransiskus Xaverius" Kebon Dalem Semarang diceritakan sebagai berikut.

"Suatu hari di tahun 1935, Pastor Simon Beekman SJ, dan Pastor Minderop SJ, pastor kepala Gedangan, bersama-sama berdiri di tangga marmer depan gedung yang saat ini kita kenaI sebagai gereja Kebon Dalem. Pastor Minderop mengatakan "Engkau mencari sebuah gereja, inilah dia, tempat di mana kita berdiri saat ini. Di kiri-kananmu, itulah sekolah. Rumah yatim piatu di seberang sana, dan rumah suster-suster, itu gedung besar disebelahnya ..... "

Pastor Beekman sejak awal mula ingin berdiam di tengah-tengah perkampungan orang-orang Tionghoa, agar Misi lebih dikenal dan dihargai. Dan setelah sekian tahun Pastor Beekman mencari-cari dan berpikir tentang hal tersebut, akhirnya ia mendapatkannya. Pastor Beekman sangat tertarik kepada Kebon Dalem, suatu kompleks bangunan besar yang indah, bercorak arsitektur dan penuh ornamen Tiongkok kuno.

Bangunan-bangunan besar yang sudah tua itu memiliki nilai-nilai sejarah. Gedung gereja itu dulu merupakan rumah abu dan pernah menjadi pusat hiburan orang-orang Tionghoa pada pertengahan abad ke 19. Gedung susteran, gedung-gedung sekolah dan sebagian kini telah menjadi lapangan tenis itu adalah bekas gedung kediaman Mayor Be Biauw Tjwan. Gedung tersebut dahulu sering dipakai sebagai pemberhentian pertama (bahasa Jawa: jujugan) oleh para utusan raja-raja Tiongkok bila berkunjung ke Indonesia.

Sejak tahun 1895 di Kebon Dalem itu sudah ada seorang penghuni yang te1ah beragama katolik: Clara Maria Be Kiem Nio, puteri Tuan Be Ing Tjoe. Kepadanyalah beberapa kali Pastor Beekman minta agar diperbolehkan menyewa serambi muka rumah abu yang berada di dalam kompleks itu untuk mendirikan sekolah. Tetapi permintaan itu selalu ditolaknya sambil tersenyum.

Bangunan-bangunan tersebut menjadi tak terpelihara, bahkan ada hipotik sebesar fl. 30.000,-.. Pemiliknya tidak mampu membayar, karenanya gedung itu akan dilelang. Makelar Firman "Lebert" menawarkan kepada Pastor Beekman. Ketika Superior Misi mendapatkan laporan tentang tawaran ini, beliau menyetujuinya. Kesulitan pertama datang dari penghuni. rumah tertua yang tidak mau mengakui hipotik itu. Diajukanlah masalahnya ke Sidang Pengadilan dengan pembela dari empat kantor pengacara, pro dan kontra. Kira-kira setahun kemudian, diperoleh berita, bahwa hipotik diakui sah oleh Pengadilan. Tetapi penghuni tertua naik banding. Dan sekali lagi, hipotik diakuisah.

Akhimya, pelelanganpun terjadilah. 28 Nopember 1936, Sabtu yang penuh ketegangan. Dukungan doa datang dari mana-mana, bahkan dari Jakarta dan Surabaya. Persoalannya ialah, batas kemampuan yang ada hanyalah fl. 32.000,- sedangkan "lawan-lawan" memiliki kekayaan jauh lebih besar, dan dengan mudah mereka dapat membayar fl. 100.000,­- Dan faktor lain, Kebon Dalem merupakan rumah abu, apakah mereka rela melepaskannya kepada orang asing? Tidakjauh dari Rumah Lelang di stasiun Poncol, Pastor Beekman dan lainnya menanti sambil berdoa .

Sementara itu dalam pelelangan, salah seorang pembantunya bertanya: "Adakah yang tahu, berapa banyak pajak yang belum dibayar?" Semuanya diam, menimbang dan. menaksir. Dan pengacara memanfaatkan kesempatan ini. Tawaran di lanjutkan: 31.000,- menjadi 31.500.-. Dan ..... tiada lagi! Tiga kali pukulan palu menghentaki meja. Pintu terbuka, sekelompok orang keluar. Tuan Goh Boen Toh menghampiri Pastor Beekman yang tengah menanti. Ucapannya sederhana: "You got it, Father! Congratulations!" ( 50 tahun "St. Fransiskus Xaverius" Kebon Dalem Semarang hal.13 - 14 ).

Inilah awal Tuhan menganugerahkan umat Kebon Dalem tempat untuk berdoa dan merayakan misa, Rumah Abu. Setelah dibenahi, direnovasi dan dilengkapi dengan alat-alat ibadat, maka pada tanggal 16 Desember 1937, diberkatilah Rumah Abu itu sebagai Gereja Kebon Dalem dengan nama Pelindung St. Franciscus Xaverius oleh Mgr. PJ. Willekens dibantu pastor L. Zwaans yang menjadi pejabat Pastor Kepala Kebon Dalem berhubung Pastor Beekman cuti ke Eropa. (50 tahun "St.Franciscus Xaverius" Kebon Dalem Semarang hal. 14).

Pada tanggal 22 Januari 1938, sekelompok suster dari Konggregasi Penyelenggaraan Ilahi yang terdiri dari delapan orang untuk pertama kalinya datang ke Semarang. Selanjutnya karya kerasulan di Kebon Dalem makin-berkembang pada tanggal1 Januari 1956 menjadi paroki sendiri, melepaskan diri dari Paroki Gedangan.

Tanggal 15 Juli 1959, pimpinan paroki diserahkan oleh pastor Simon Beekman kepada seorang pastor tenaga muda yakni Pastor F.X. Khoe Swie Ging, SJ. Pada tanggal 1 Juli 1968, Pastor F.X. Oei Gien Hauw (FX. Haryono, Pr) menggantikan Pastor F.X. Khoe Swie Ging yang pindah ke Jakarta.

Pada tanggal19 Januari 1978, Tuhan memanggil putra-Nya, Pastor F.X. Oei Gien Hauw, Pr dari tengah umat yang mencintainya. Pastor Rochus Chang Peng Tu, Pr. diangkat sebagai pejabat pastor kepala paroki. Pada tanggal 1 Januari 1979 diangkat sebagai pastor kepala paroki Pastor G. Notobudyo, Pr. Selanjutnya diganti oleh Pastor St. Suhartono dan berikutnya berturut-turut Pastor H. Nata Susilo Pr, Pastor YM Hardjoyo Pr, Pastor Y. Pujasumarta, Pastor F.X. Krisno Handoyo Pr, dan selanjutnya Pastor F.X. Murdisusanto Pr sejak bulan Agustus 2002 sampai sek



[1] Sumber buku Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan dalam rangka peringatan 125 th Gedung Gereja dituliskan th 1932 MSF mulai berkarya di Bangkong, 1934 berkarya di Kudus, Demak, Jepara dan 1956 di Purwodadi dan Gubug.

[2] Dalam Konsep Buku Sejarah Gereja Gedangan, sampul biru, tertulis tahun 1936 kompleks Kebon Dalem dibeli Pastoor Beekman SJ. Buku sumber Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan dalam rangka peringatan 125 th Gedung Gereja tertulis, Pastor Beekman tanggal 26 November 1936 membeli kompleks Yayasan Soli Bei di Kebon Dalem untuk Panti Asuhan, Sekolahan, Susteran dan Gereja. Baru tgl 16 Desember 1937 bangunan gereja di resmikan.