KASUS model asal Indonesia Manohara Odelia Pinot dan Raja Kelantan Tengku Muhammad Fakhry serta konflik Ambalat memanaskan lagi hubungan diplomatik dan budaya antara Malaysia dan Indonesia. Sejak sama-sama berdiri tahun 40-an, hubungan bilateral selalu pasang surut. Ada kalanya panas, ada kalanya mesra. Untuk mengetahui kenapa pasang-surut itu terjadi, berikut wawancara dengan Prof Dr Abdul Hadi MW, pengajar Universitas Paramadina yang tahun 1991-1997 menjadi penulis tamu dan pengajar di Universiti Sains Malaysia.
Hubungan Malaysia-Indonesia memanas lagi sampai-sampai Wapres Jusuf Kalla menyatakan kita siap berperang. Menurut pandangan Anda, apa sebab relasi Indonesia-Malaysia begitu rapuh?
Ya jelas masalah politik dan ekonomi. Harap diingat, kolonialisme yang memisahkan negara-negara di Asia Tenggara. Pada masa kolonial itu, komposisi kependudukan Malaysia adalah China, Melayu, dan India. Usaha kolonial untuk memisahkan ras-ras itu tampaknya berhasil.
Tentu ada kelompok rasial yang tidak senang Malaysia dekat dengan Indonesia karena secara kultural, etnik dan agama memang satu rumpun. Mereka bermain dalam percaturan politik dalam negeri di Malaysia yang kemudian berdampak pada hubungan dengan Indonesia. Biasa, mental kolonial itu menganggap bahwa hal-hal yang berkaitan dengan budaya tradisional Asia lebih rendah.
Dulu percaturan politik dan ekonomi Indonesia lebih diperhitungkan di kawasan Asia, tapi belakangan Malaysia menggungguli. Apa superioritas ekonomi Malaysia sekarang yang membuat mereka cenderung memandang rendah Indonesia?
Dilihat dari segi ekonomi, mereka memang merasa lebih unggul dan berhasil. Tentu mereka akan memperlakukan negara-negara di sekitarnya, termasuk Indonesia yang belum berhasil membangun ekonominya itu sebagai bagian dari ekspansi ekonomi mereka.
Penggerak ekonomi di sana tidak hanya dari rumpun Melayu. Jangan lupa, pengusaha di sana banyak yang terdidik secara Barat. Dan tidak bisa disalahkan ada segi rasialnya juga. Apalagi Singapura. Ini harus diakui oleh mereka sendiri.
Adakah pemimpin yang tampil di negara itu turut berperan memperkeruh hubungan kedua negara?
Pemimpin-pemimpin Malaysia, dari Mahathir hingga sekarang itu kan orang-orang Melayu didikan Barat yang dekat dengan pemikiran kolonial yang menganggap Batat atau Inggris itu contoh segala-galanya. Dari segi kultur, orang-orang Melayu merasa memimpin dunia Melayu. Kemelayuan itu kan ada dua, di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia tidak terbangun karena kesalahan pemerintahan. Kaum intelektual Indonesia, kalau berbicara tentang Melayu, rujukannya selalu Malaysia. Kita lupa bahwa di Indonesia juga ada Melayu.
Kalau orang berbicara Islam, kan selalu berpikir, oo.. Islam yang di Jawa. Kita lupa bahwa Islam yang di Melayu ini yang menjadi perekat dengan Melayu di Indonesia.
Belakangan ini banyak karya budaya Indonesia yang diklaim oleh Malaysia. Dari batik, reog, sampai saman dari Aceh mereka promosikan sebagai budaya Melayu.
Itu setengahnya tidak salah. Banyak orang Malaysia yang keturunan Jawa dan Aceh. Sejak lama mereka punya batik Melayu, batik Kelantan. Tapi orang Indonesia tidak mau menegaskan ada batik Jawa, ada batik Pekalongan, ada batik Madura. Lalu dalam kajian-kajian tentang seni, batik itu pengaruh China pada budaya Jawa. Pengaruh Islam-nya mana, pengaruh Persi-nya di mana, tidak ditegaskan.
Kita di Indonesia dididik hindusentris. Ada islamophobia di dalam penelitian ilmiah di Indonesia. Nah, Islam-nya itu yang diklaim oleh Malaysia. Dalam sastra Melayu kan pengaruh Islam sangat kuat. Di Indonesia itu tidak dipelajari, tapi di sana, karena merasa orang Melayu, mereka mempelajari dan mengembangkannya.
Kerajaan Melayu kan terdiri atas Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh Darussalam. Dari tiga kerajaan itu, satu ada di Malaysia (Malaka), dan satu di Indonesia. Sejarawan kita menganggap perkembangan kebudayaan Melayu selalu dimulai dari Malaka. Makanan empuk bagi mereka. Lupa bahwa Samudera Pasai lebih dulu dari Malaka. Dan Aceh itu selalu dianggap Aceh saja, padahal Aceh Darussalam itu sumber peradaban Melayu. Persepsi sejarah ini mereka manfaatkan bahwa pusat kebudayaan Melayu itu Malaka. Jadi Indonesia itu hanya periferal Kerajaan Malaka.
Itu sudah ada sejak zaman Inggris dan Belanda, dan masuk ke dalam pemikiran kaum intelektual dan negarawan Indonesia. Pelopor sastra Melayu modern itu selalu dikatakan Abdullah bin Abdulkadir Munzi di Malaysia. Padahal di sini ada Raja Ali Haji. Ada Hamzah Fansuri di Aceh yang lebih dulu. Tapi kita tidak mau mengangkat.
Kecenderungan orang Malaysia memandang rendah Indonesia sepertinya mulai menguat saat kita mengirimkan TKI ke sana. Anda juga melihatnya demikian?
Jelas. Keunggulan ekonomi itu memang sesuatu yang penting. Sejak awal 70-an, pemerintah kita belum berhasil membangun ekonomi dengan baik. Akibatnya, Malaysia selalu menganggap rendah Indonesia.
Mereka itu kan orang-orang yang memiliki kompleks inferioritas terhadap orang Indonesia dalam pencapaian intelektual. Dan setelah maju secara ekonomi, mereka ingin membalas, merasa lebih unggul, dan menganggap orang Indonesia yang bekerja di sana lebih rendah.
Pada tahun 70-an, orang Indonesia dibawa ke Malaysia untuk mengatasi ketimpangan populasi Melayu dengan etnis China. Tapi hubungan dengan perusahaan-perusahaan, baik milik ras Melayu maupun China yang semula mesra kemudian berbalik menjadi hubungan perbudakan.
Ada hal menarik. Di satu sisi, mereka merasa lebih unggul, tapi di sisi lain tidak. Bahkan musik dan sinetron Indonesia, begitu meraja di Malaysia. Mereka berkiblat ke kita.
Ya. Tapi itu bisa menyebabkan kecemburuan para seniman di sana. Dan lagi, yang secara umum kita ketahui kan hanya di bidang musik dan film. Sebetulnya, bukan hanya di bidang itu. Di bidang sastra, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, mereka juga berorientasi ke sini.
Sayangnya, kita memperlakukan pemikiran kita setengah hati. Pemikiran pada pemikir Islam di Indonesia seperti Hamka atau M Natsir dipelajari di perguruan tinggi di Malaysia. Buku-buku Pramoedya, Ahdiat Kartamiharja, Hamka, dijadikan teks wajib di sana.
Mereka ingin lebih setara dengan seniman-seniman Indonesia. Tapi tidak berhasil juga. Secara tradisi, Indonesia memang jauh lebih unggul. Tapi usaha mereka untuk memperkenalkan karya tentang kemelayuan ke dunia internasional, sangat tinggi, dibiayai pemerintah. Kesusastraan Malaysia itu diperkenalkan ke mana-mana. Tapi lihat, bagaimana pemerintah memperlakukan sastrawan kita. Temasuk kajian kita tentang budaya Melayu.
Apa yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan kembali hubungan antara kedua negara yang lebih harmonis?
Upaya yang terbaik, pemerintah mesti bertindak tegas dan cepat terhadap, pertama, kalau berhubungan dengan pelanggaran wilayah, seperti kasus Ambalat dan Sipadan-Ligitan. Cepat panggil Dubes Malaysia di sini.
Yang kedua, pemerintah harus menangani setiap kasus perlakuan terhadap TKI di sana. Saya lihat Dubes RI di Malaysia itu tidak pernah membantu sejak dulu sampai kasus Manohara sekarang. Lepas tangan saja, sepertinya kita itu tunduk.
Yang ketiga, dalam hukum internasional, kita harus aktif mendata pulau-pulau yang kita miliki dan memberikan batas wilayah. Jangan lupa, mereka membangun angkatan laut dan angkatan udara yang kuat. Sementara angkatan bersenjata kita semakin lemah. Kita terlalu mengandalkan pertahanan rakyat. Zaman Soeharto masih efektif, karena rakyat masih punya patriotisme. Tapi sekarang, saat tingkat kemiskinan demikian tinggi, tidak ada pertahanan rakyat.
Di tingkat Asia Tenggara, Indonesia harus punya pusat kebudayaan di Malaysia, Filipina, dan sebagainya. Martabat kita ada di situ. China, misalnya, punya tokoh-tokoh besar di bidang intelektual, kesenian, segala macam. Indonesia, bangsa yang begini besar ini, punya filsuf tidak, punya sastrawan tidak, punya ilmuwan tidak, punya nabi juga tidak. Indonesia menjadi bangsa yang rapuh karena pencitraan semacam itu tidak dibangun. Padahal, kita punya tokoh-tokoh besar yang dikagumi di Malaysia dan Asia Tenggara.
Sekarang di Facebook muncul slogan ”Malaysia Trully Indonesia”. Apa komentar Anda?
Ya bagaimana.. Di Malaysia itu, museumnya tidak terlalu bagus. Isinya banyak benda dari Indonesia. Tapi itu diaku sebagai museum terbesar di Asia Tenggara. Padahal, benda-benda Islam-nya dari Sumatera, Jawa. Ya seperti Museum Malaka yang memamerkan peninggalan sejarah Hang Tuah, Hang Lekir, Hang Jebat, dan sebagainya.
Tapi mereka memiliki kelebihan di bidang ekonomi dan politik, mereka angkat di situ. Sedangkan kakak tua ini (Indonesia), miskin secara ekonomi, jadi seperti raksasa yang lumpuh.
Barangkali harus menunggu ekonomi kita lebih kuat?
Ya, tapi ekonomi dan kebudayaan itu kan dua sisi dari mata uang yang sama. Kadangkala ekonomi yang makmur memengaruhi perkembangan kebudayaan, kalau ada kesadaran tentang kebudayaan. Kalau tidak, ya akan begini saja, terus-nenerus berpikir kebendaan. Tapi ada kalanya kebudayaan yang membangkitkan ekonomi.
Selain ekonomi yang lebih mapan, promosi budaya dan wisata Malaysia di luar negeri gencar sekali. Bukankah itu membuat klaim mereka terhadap produk-produk kebudayaan Melayu makin menyudutkan Indonesia?
Ini juga menyangkut infrastruktur pengetahuan kita. Dalam dunia pariwisata, misalnya, Indonesia selama ini berorientasi ke zaman Hindu. Yang bisa dijual ya cuma Bali, Prambanan, Borobudur. Lupa bahwa setelah zaman Hindu ada zaman Islam. Ada juga zaman Kristen berkembang seperti di Ambon, Batak, Manado. (38)
Profil:
ABDUL Hadi Wiji Muthari
lahir di Madura 24 Juni 1946.
Dia memperoleh pendidikan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan serta Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada. Gelar PhD dia peroleh dari Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia. Selain mempelajari kesusastraan Melayu/Indonesia dan falsafah Barat, dia juga mempelajari kebudayaan dan kesusastraan Timur. Sebagai penyair, dia telah menhadiri berbagai pertemuan sastrawan internasional. Puisi dan esai-esainya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Bukunya antara lain Riwayat, Laut Belum Pasang, Potret Panjang Pengunjung Pantai Sanur, Cermin, Meditasi, Tergantung Pada Angin, Anak Laut Anak Angin, Pembawa Matahari dan Madura, dan Luang Prabhang.
(/)