PRESTASI yang satu ini tentu bukan kabar menggembirakan. Indonesia masuk sepuluh (10) besar negara donatur pemanasan global di planet tercinta ini. Ini artinya, kerusakan lingkungan di wilayah Nusantara kembali menjadi sorotan dunia internasional. Indonesia disebut-sebut sebagai negara nomor kesepuluh yang memberikan andil cukup besar akan karut marutnya iklim saat ini.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar pun mengakui prestasi kelam itu. Sebagai menteri lingkungan, tentu Witoelar merasa sangat prihatin dengan kenyataan tersebut. Sementara predikat nomor satu perusak iklim dunia dipegang negara super power Amerika Serikat.
Menurut catatan, prosentase sumbangan pemanasan yang diberikan Indonesia cukup besar. Kontribusi pemanasan global di Indonesia mencapai sekitar 5 persen dari total pemanasan global sedunia. Sedangkan Amerika Serikat, sebagai negara terbesar yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, memberikan sumbangan pemanasan global sekitar 27-30 persen.
Sumbangan pemanasan global, tentu salah satunya dihasilkan dari kondisi lingkungan yang rusak. Pohon habis digunduli. Bukit dan gunung dikelupas, dengan alasan untuk perumahan, pembuatan jalan, perkebunan, pertambangan atau yang lainnya.
Alasan tersebut di atas, jika dirasa-rasakan sebenarnya terlalu sederhana, naif, dan kekanak- kanakan. Hanya semata demi keuntungan material sesaat, semuanya diterjang. Dan bukannya keuntungan di masa depan yang dipikirkan.
Padahal jika dikalkulasikan dan dibandingkan, kerusakan yang terjadi akibat bencana alam terkait kesalahan manusia dengan keuntungan sesaat yang diterima tidaklah sebanding. Bencana jebolnya tanggul Situ Gintung misalnya, jika saja dialokasikan dana untuk pemeliharaan tanggul tentu pada akhirnya dana yang dikeluarkan pemerintah tidak sebanyak ketika penanganan bencana jebol seperti saat ini.
Demikina pula terhadap pengelolaan lingkungan dan penyelamatan hutan. Jika hutan bisa diselamatkan, hingga gilirannya pemanasan global bisa ditekan, maka ancaman bencana di masa mendatang juga akan bisa ditekan pula. Dengan demikian efesiensi biaya, penyelamatan kesehatan lingkungan dan lain sebagainya juga bisa lebih dikedepankan.
Menurut Witoelar, kerusakan hutan Indonesia sebenarnya masih sekitar 40 persen dari total hutan yang ada. Jadi masih ada 60 persen hutan yang masih bagus. Namun demikian kita tidak boleh terlalu “berbangga” dengan bandingan prosentase tersebut, karena sampai saat ini masih terjadi peningkatan akumulasi kerusakan lingkungan.
Kita ambil contoh sebagian dari hutan di Indonesia saja. Hutan Sumatera misalnya, ternyata membutuhkan perhatian yang cukup serius. Menurut catatan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, produksi kertas, kelapa sawit, dan kopi yang diolah untuk kepentingan masyarakat telah merusak hutan di Sumatera.
Dalam kurun waktu 1995 sampai 2007 jumlah organisme penutup permukaan hutan Sumatera yang hilang mencapai 48 persen. Kini jumlah sumber daya alam yang dapat digunakan hanya tersisa 30 persen saja. Itu pun telah digunakan untuk produksi kertas, kopi, dan kelapa sawit.
Untuk mengatasi kerusakan tersebut, menurut WWF, salah satu cara paling sederhana adalah dengan menghemat dan mengurangi konsumsi produk yang menghilangkan habitat hidup, misalnya mengurangi penggunaan kertas. Bayangkan, untuk menghasilkan satu rim kertas saja harus dikorbankan sekitar dua meter persegi hutan.
Bayangan tentang kerusakan hutan Sumatera tersebut tentu bisa kita simulasikan pula untuk melihat seberapa besar kerusakan hutan di wilayah lain, semisal kerusakan hutan di Kalimantan, Papua, Sulawesi, Jawa, dan lain sebagainya.
Efeknya menggurita
Jika pemanasan global terus berlangsung seperti sekarang, akibat sampingannya akan lebih mengerikan lagi. Diprediksikan pegunungan di seluruh dunia akan terancam kehilangan sungai esnya (gletser).
Laporan Program Lingkungan PBB (United Nations Environment Programme/UNEP) menyebutkan, tren penyusutan sungai es yang terjadi sekarang bersifat mendunia dan cepat, bahkan mengalami percepatan. Ini akan mengakibatkan banyak pegunungan di dunia kehilangan sungai es pada akhir abad 21.
Penyusutan es pada periode 1996-2005 meningkat dua kali lipat dibanding satu dekade sebelumnya, yakni 1986-1995, dan lebih dari empat kali dibanding dua dekade sebelumnya, yakni 1976-1985.
Dampak perubahan iklim ini tentu akan mengakibatkan banyak pulau tenggelam gara-gara naiknya permukaan air laut karena mencairnya es di kutub, ancaman banjir, ketidakpastian iklim, dan cuaca ekstrem.
Ketakpastian iklim dan cuaca ekstrim, selain memicu timbulnya hujan berkepanjangan dan banjir, juga memicu kondisi sebaliknya. Yakni, kekeringan dalam waktu cukup lama, di belahan bumi yang lain.
Ketika terjadi peningkatan indeks kekeringan, itulah yang memicu meningkatnya penyulutan api yang mengakibatkan lahan atau hutan terbakar. Kebakaran sudah pasti menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti korbondioksida (CO2), gas metan (CH4), dan dinitroksida (N20) di atmosfer.
Selain itu, udara panas yang dihasilkan dari kebakaran hutan juga bisa memicu bencana yang lain. Peningkatan panas di suatu daerah, dapat memicu munculnya perbedaan udara yang ekstrim yang berpotensi memunculkan bencana angin puting beliung.
Nah, makin jelaslah kini semuanya. Ancaman bencana akibat kecerobohan kita semua semakin lengkap. ***
Wahai semua mari menyulam rimba
Agar warnanya kian hijau memikat
Bila kita semua sepaham selamatkan dunia
Niscaya kemajuan di masa depan akan makin pesat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar